Telaga Madirdo merupakan danau kecil yang
airnya bersumber dari mata air di lereng Gunung Lawu. Telaga tersebut menjadi
tumpuan kehidupan warga karena airnya yang tak pernah surut meski musim kemarau
dan tak pernah penuh di saat musim penghujan. Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, disanalah telaga ini terhampar. Jarak telaga ini dari
Balai Desa Berjo sekitar 4 kilometer dan dapat ditempuh dengan cukup mudah.
Telaga ini memiliki potensi yang layak untuk
di kembangkan menjadi obyek wisata unggulan bagi Desa Berjo sebagaimana yang
diimpikan warga Berjo pada umumnya. Telaga Madirdo sebenarnya cukup di kenal
oleh wisatawan yang memasuki Desa Berjo terutama wisatawan yang mencoba
memperlajari keanekaragaman potensi wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar,
Hal itu dikarenakan telaga ini termasuk dalam
jalur Golden Tracking Sukuh-Grojogan Sewu. Dimana keberadaanya sangat
berdekatan dengan berbagai obyek wisata seperti situs Watu Bonang, Situs
Planggatan, Candi Sukuh dan Grojogan Sewu.
Dengan posisinya yang demikian, masyarakat
meyakini telaga ini bisa dikembangkan menjadi obyek wisata andalan. Bukan tidak
mungkin akan seterkenal Telaga Sarangan di Magetan Jawa Timur. Dengan posisinya
itu bahkan telaga ini bisa menjadi gerbang utama untuk menuju berbagai kawasan
obyek wisata di Kabupaten Karanganyar.
RUTE JALAN
Tlogo Madirdo tepatnya terletak di Dusun
Tlogo, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar. Walaupun terletak di lereng Gunung Lawu
dengan ketinggian sekitar 900 m di atas permukaan air, letak potensi obyek
wisata ini cukup strategis. Hal itu mengingat kedekatannya dengan obyek wisata
andalan Kabupaten Karanganyar yang lain, seperti Grojogan Sewu, Situs
Planggatan, Candi Sukuh, obyek Wisata Air Terjun Jumok, Parangijo dan Candi
Cetho. Di sepanjang jalan menuju menuju Tlogo Madirdo, juga telah berkembang
berbagai rumah makan, yakni yang menghampar di sepanjang jalur Karangpandan –
Karanganyar. Jarak anatara Karangpandan dengan obyek wisata Tlogo Madirdo
kurang lebih sekitar 5 kilometer.
Untuk mencapai Tlogo Madirdo dapat dilakukan
melalui dua jalur utama dan satu jalur alternatif. Yang pertama melalui pintu
gerbang arah Candi Sukuh dan Candi Cetho, serta menuju Air Terjun Jumok, yang
juga berada di Kecamatan Ngargoyoso. Jarak dari pintu gerbang ini kurang lebih
sepanjang 7 kilometer. Karena berada di lereng Gunung Lawu, maka kondisi jalan
untuk menuju ke Telaga Madirdo memang cukup terjal dan berkelak-kelok. Meski
demikian kondisi jalan ini masih cukup nyaman untuk dilalui baik oleh kendaraan
pribadi maupun dengan sepeda motor. Sementara angkuta umum yang melalui rute
ini adalah bus jurusan Karangpandan – Ngargoyoso.
Sedangkan jalur kedua, untuk menuju Tlogo
Madirdo, adalah melalui Desa Karang, yang berada pada kilometer 34 jalan raya
Solo-Tawangmangu. Jalur ini merupakan jalur yang cukup berkembang karena juga
merupakan gerbang utama menuju kawasan Agro Wisata Amanah yang jaraknya kurang
lebih 1,5 kilomter dari jalan raya Solo-Tawangmangu.
Dari pintu gerbang Amanah untuk menuju Tlogo
Madirdo harus melalui jalan kabupaten dan jalan desa, kurang lebih sepanjang 5
kilometer. Kondisi jalan tak jauh berbeda denga jalur pertama, cukup terjal dan
berkelok-kelok. Sementara jalur ketiga adalah melalui rute Grojogan Sewu, yaitu
melalui jalan desa Tengklik Tawangmangu – ke arah Desa Berjo menuju Tlogo
Madirdo. Rute ini adalah jalur alternatif dari arah Grojogam Sewu -Tawangmangu.
Sejarah
Pada
suatu ketika,
tersebutlah seorang resi sakti mandraguna bernama Gutama yang tinggal di
Pertapaan Agrastina. Kerena kesaktiannya, Resi Gutama pernah membantu para dewa
menyelamatkan kahyangan, dan atas jasanya ini, Batara Guru menghadiahi sang
resi seorang bidadari bernama Dewi Indradi (Windradi) sebagai istrinya.
Walalupun Dewi Indradi sebenarnya lebih menyukai Batara Surya (Dewa
Matahari), dia menerima Resi Gutama sebagai suaminya.
Sebelum
menikah, Batara Surya menghadiahi Dewi Indradi sebuah mustika bernama Cupu
Manik Astagina. Cupu adalah suatu wadah berbentuk bundar kecil
terbuat dari kayu atau logam, sedang manik adalah permata. Kesaktian
Cupu Manik Astagina adalah dapat memperlihatkan tempat-tempat di dunia tanpa
harus mendatanginya.
Telaga kecil di lereng Gunung Lawu yang sejuk.
Cermin. Dengan air yang
sangat jernih, memantulkan apa yang ada diatasnya, tapi jika di dekati, dasar
telaga dapat terlihat jelas.
Pijakan. Beberapa batuan di
pinggir telaga. Sering digunakan oleh penduduk sekitar untuk pijakan saat mandi
di telaga yang jernih ini.
Sebelum menikah Batara Surya
menghadiahi Dewi Indradi sebuah mustika bernama Cupu Manik Astagina. Kesaktian
Cupu Manik Astagina adalah dapat memperlihatkan tempat-tempat di dunia tanpa
harus mendatanginya.
Pernikahan Resi Gutama dan Dewi Indradi
menghasilkan tiga orang anak. Anak pertama perempuan bernama Anjani,
anak kedua dan ketiga kembar, bernama Guwarsi dan Guwarsa.
Suatu ketika, Dewi Indradi memberikan
Cupu Manik Astagina kepada Anjani. Ini membuat iri dua saudaranya, Guwarsi dan
Guwarsa. Ketiga bersaudara ini pun bertengkar memperebutkannya. Keributan ini
lalu didengar oleh ayah mereka. Resi Gutama lalu bertanya kepada Dewi Indradi,
darimana dia memperoleh cupu itu. Dewi Indradi yang telah dipesan oleh Batara
Surya untuk merahasiakan pemberiannya, hanya diam saja. Ini membuat marah Resi
Gutama yang lalu mengutuk Dewi Indradi menjadi batu.
Cupu Manik Astagina lalu dibuang dilempar oleh Resi
Gutama. Tempat jatuhnya cupu itu menjelma menjadi sebuah telaga indah dengan
air yang sangat jernih, yang kemudian dikenal dengan nama Telaga Madirda.
Tiga bersaudara, Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa yang baru saja kehilangan ibu
mereka, masih saja menurutkan hawa nafsunya berebut mustika itu dan terus
mencarinya. Ketika sampai di Telaga Madirda, mereka mengira cupu itu ada di
dasarnya. Guwarsi dan Guwarsa yang menyelam ke dalam telaga, ketika keluar
berubah menjadi manusia kera. Sedangkan Anjani yang hanya memasukkan wajah dan
tangannya, hanya kepala dan tangannya saja yang menyerupai kera. Mereka
kemudian menjadi menjadi bangsa Wanara, manusia (nara) yang
tinggal dihutan (wana), atau bangsa manusia kera.
Cupu Manik Astagina lalu dibuang
dilempar oleh Resi Gutama. Tempat jatuhnya cupu itu menjelma menjadi sebuah
telaga indah dengan air yang sangat jernih, yang kemudian dikenal dengan nama
Telaga Madirda.
Ikan. Di telaga ini banyak terdapat
ikan-ikan besar yang berenang bebas dan tidak ada yang menangkapnya.
Bermain. Anak-anak desa
bermain mencari ikan di sekitar telaga (bukan di dalam telaga). Aliran air di
luar telaga memang sebagian digunakan untuk budidaya ikan.
Air. Selain untuk budidaya ikan, air
telaga yang jernih juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk pengairan,
air minum, mandi, dan keperluan lainnya.
Untuk menyucikan diri, dengan petunjuk
ayah mereka, mereka bertiga bertapa ditempat yang berbeda. Guwarsi dan Guwarsa
yang telah berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing
bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Sedang Anjani di Telaga Madirda,
bertapa nyantolo atau berendam seperti katak. Kutukan kepada Anjani akan
berakhir setelah dia melahirkan seorang anak titisan Siva. Dengan pertapaannya
yang sunguh-sungguh, akhirnya Siva mengabulkannya, melalui makanan yang
diterbangkan Batara Bayu (Dewa Angin) kepada Anjani. Anjani memakan
makanan tersebut, lalu lahirlah seorang wanara paling perkasa, kera putih
bernama Hanuman.
Sedang Anjani di Telaga Madirda,
bertapa nyantolo, atau berendam seperti katak. Kutukan kepada Anjani akan
berakhir setelah dia melahirkan seorang anak titisan Siva. Akhirnya Siva
mengabulkannya, melalui makanan yang diterbangkan Batara Bayu (Dewa Angin)
kepada Anjani. Anjani memakan makanan tersebut, lalu lahirlah seorang wanara
paling perkasa, kera putih bernama Hanuman.
Hanoman dan dua pamannya, Subali dan
Sugriwa, merupakan tokoh-tokoh penting dalam epos Ramayana. Hanoman dan
Sugriwa yang membantu Rama mencari Sita dan mengalahkan Rahwana. Sedang
Subali, adalah guru dari Rahwana (Dasamuka).
Cekungan. Telaga Madirda
terletak di sebuah cekungan datar. Di sekitarnya adalah bukit dengan tanaman
menghijau, jalan desa, dan rumah-rumah penduduk.
Konstan. Debit air di Telaga
Madirda konon selalu konstan. Tidak pernah kering saat musim kemarau dan tidak
banjir saat musim hujan.
Telaga Madirda, tempat Cupu Manik
Astagina dibuang dan tempat Anjani menyucikan diri, menurut cerita rakyat,
berada disini. Tepatnya di lereng barat Gunung Lawu, di Dusun Tlogo, Berjo,
Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Dengan ketinggian sekitar 900 mdpl,
telaga ini memang terasa sangat sejuk, tenang, indah dan asri.
Telaga ini tidak terlalau besar, luas
airnya hanya sekitar 1000 m2, terletak pada suatu cekungan datar
seluas kira-kira 3000 m2. Di sekeliling telaga adalah perbukitan
dengan tumbuh-tumbuhan yang menghijau dan rumah-rumah penduduk desa yang
bersahaja.
Menghijau. Dengan pasokan air
yang cukup, membuat kawasan disekitar telaga menjadi daerah yang subur dan
menghijau.
Air Telaga Madirda sangat jernih,
sehinga dasar telaga, batuan yang ada di dalamnya, dan ikan-ikan yang bebas
berenang dapat telihat dengan jelas. Yang paling menarik, konon air di telaga
ini tidak pernah kering dan tidak pernah berlebih. Debit airnya selalu konstan
dimusim kemarau ataupun penghujan. Jadi kapanpun telaga ini dikunjungi, akan
selalu terasa sejuk dan segar.
Air Telaga Madirda sangat jernih,
sehinga dasar telaga, batuan yang ada di dalamnya, dan ikan-ikan yang bebas
berenang dapat telihat dengan jelas. Yang paling menarik, konon air di telaga
ini tidak pernah kering dan tidak pernah berlebih.
Alami. Telaga ini masih relatif alami, belum
banyak fasilitas yang disediakan. Bangunan disekitarnya adalah rumah penduduk
desa.
Fasilitas.
Hanya ada tambahan fasilitas outbound sederhana yang biasanya malah dipakai
anak-anak desa untuk bermain.
Di
sekitar lokasi telaga – dalam radius beberapa kilometer – terdapat lima candi
Hindu yang diperkirakan merupakan peninggalan Majapahit. Candi yang paling
dekat adalah Candi Planggatan, lalu Candi Sukuh, Candi Cetho,
Candi Kethek, dan Candi Menggung yang berlokasi dekat Grojogan Sewu. Keberadaan
telaga ini kemungkinan masih berhubungan tradisi Hindu Majapahit. Pada setiap
menjelang peringatan Nyepi, di telaga ini diadakan upacara Melasti oleh umat Hindu setempat.
Mata Air. Sekitar 10 meter
diatas telaga terdapat mata air yang mengisi telaga. Selain itu, mata iar ini
juga digunakan untuk mengairi sawah dan kebun penduduk disekitar telaga.
Batu Petilasan. Konon ini adalah
batu petilasan tempat Dewi Anjani bertapa menyucikan diri.
Melasti. Beberapa hari
sebelum Nyepi – biasanya pada hari minggu – umat Hindu disekitar Telaga Madirda
mengadakan upacara Melasti, upacara penyucian menyambut Tahun Baru Saka.
Mesikpun merupakan obyek wisata alam
yang sangat indah, keberadaan Telaga Madirda belum banyak diketahui orang.
Papan petunjuk lokasi, fasilitas yang ada, dan informasi terkait tempat ini
masih dangat minim. Satu sisi, hal ini menyulitkan orang yang ingin berkunjung.
Di sisi lain, karena belum banyak pengunjung dan fasilitas buatan manusia, ke
alamian tempat ini masih dapat terjaga.
KONDISI ALAM
Tlogo Madirdo sendiri berada di hamparan
pelataran yang dikelilingi cekungan bukit yang menjadikan sumber air mengalir
ke telaga Madirdo sehingga tak pernah kering meskipun di saat musim kemarau.
Hutan pinus yang berada di bukit cukup baik sebagai resapan air yang
mengalirkanya kembali ke telaga. Sementara kondisi air di Telaga Madirdo
sendiri terhitung cukup jernih dan belum tercemar.
Tapak Tlogo Madirdo sendiri berupa cekungan
dengan bentuk empat persegi panjang dan berukuran 150 x 200 meter. Kedalaman
cekungan kurang lebih 5 meter pada sisi yang rendah dan lebih dari 20 meter
dari sisi yang lebih tinggi. Pada sisi cekungan terdapat jalan desa yang
mengubungkan Dukuh Tlogo (sebelah timur – utara Tlogo) serta jalan tembus
menuju Tawangmangu dan obyek wisata Grojogan Sewu. Pada sekeliling cekungan ini
juga berderet perbukitan hutan pinus yang di kelola oleh Perum Perhutani.
Saat ini, wilayah yang digenangi air di Tlogo
Madirdo mencakup kurang lebih seribu meter persegi atau 30% dari luas cekungan.
Kedalaman air kurang lebih 1 meter. Selain untuk keperluan mandi, air telaga
juga dimanfaatkan penduduk untuk budidaya ikan, dan irigasi. Kondisi air
sendiri cukup jernih dan memiliki volume air yang relatif konstan baik pada
saat musim kemarau maupun pada saat musim penghujan.
Perbukitan di sekitar Telogo Madirdo memiliki
potensi sumber air yang mengucurkan air secara terus-menerus dan tak pernah
kering. Di sana terdapat keindahan lain seperti batu-batuan alam, flora fauna
khas pegunungan dan pemandangan yang bagus ke berbagai arah.
Jenis tanaman yang berada di perbukitan
sekitar Tlogo Madirdo antara lain pohon bambu, pinus, akasia, mangga, pisang,
pakis dan berbagai jenis tanaman perdu, semak dan rumput. Untuk wilayah sekitar
tapak, selain jenis tanaman tersebut juga terdapat jenis tanaman tahunan
seperti cengkeh, kopi, tanaman pertanian dan berbagai tanaman sayuran.
POTENSI
Potensi keindahan Tlogo Madirdo belum banyak diolah. Potensi telaga dengan air cukup bersih, udara
yang sejuk dan teduh, berbagai batu alam yang indah, serta keanekaragaman flora
dan fauna pegunungan yang menarik, ternyata belum dibarengi dengan penyediaan
sarana dan prasarana yang memadai. Berbagai fasilitas yang ada saat ini
semuanya murni swadaya masyarakat setempat dan terlihat masih relatif
sederhana. Berbagai fasilitas seperti pancuran untuk mandi, tempat parker,
kamar mandi dan WC umum, homestay serta pengerasan permukaan jalan, semuanya
masih terkesan seadanya.
Sumber:
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/01/04/refresing-gratis-di-telaga-madirdo-522121.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar